Puasa pada Hari Syak

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan permohonan fatwa No. 1204 tahun 2007 yang berisi:
Apakah yang dimaksud dengan hari Syak? Mengapa kita dilarang untuk berpuasa pada hari itu?


Jawaban (Dewan Fatwa)

Pertama : Mengenai puasa hari Syak (hari yang diragukan apakah telah masuk Ramadan atau belum, Penj.) terdapat tiga buah hadis yang menjelaskan hal itu.

1. Diriwayatkan dari Shilah bin Zufar, ia berkata, "Pada suatu hari, kami berada di tempat Ammar bin Yasir r.a.. Lalu dihidangkan daging kambing panggang kepada kami. Ammar pun lalu berkata, "Silahkan dimakan." Tapi ada seseorang dari kami yang menjauh dan berkata, "Saya sedang berpuasa." Maka Ammar berkata, "Barang siapa yang berpuasa pada hari ketika orang-orang ragu apakah sudah masuk Bulan Ramadan atau belum (hari Syak), maka ia telah menentang Abu Qasim saw.." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daruquthni dan Hakim. Tirmidzi berkata, "Hadis Ammar adalah hadis hasan shahih. Menurut mayoritas ulama dari kalangan para sahabat dan tabi'in, yang diamalkan adalah hadis ini. Ini juga merupakan pendapat Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Mereka menyatakan makruh hukumnya seseorang berpuasa pada hari Syak. Sebagian besar dari mereka memandang bahwa jika seseorang tetap berpuasa pada hari itu, lalu terbukti bahwa hari itu merupakan bulan Ramadan, maka ia tetap wajib mengganti puasanya tersebut pada hari yang lain.").

2. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

"Janganlah seseorang dari kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali jika bertepatan dengan hari yang di dalamnya seseorang terbiasa melakukan puasa, maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa ketika itu." (HR. Jama'ah. Tirmidzi berkata, "Hadis Abu Hurairah adalah hadis hasan shahih. Menurut para ulama, yang diamalkan adalah hadis ini, yaitu mereka menganggap makruh seseorang yang berpuasa lebih dahulu sebelum masuknya puasa Ramadan karena alasan mengagungkan Ramadan. Tapi jika orang tersebut sudah terbiasa melakukan puasa tertentu lalu puasanya itu bertepatan dengan hari syak, maka ia tidak apa-apa berpuasa pada hari tersebut.").

3. Hadis Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ

"Jika kalian melihat hilal [bulan Ramadhan] maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya lagi (hilal bulan Syawal) maka berhentilah berpuasa. Jika hilal tertutup awan dari pandangan kalian maka sempurnakanlah jumlah hari dalam satu bulan untuk bulan itu." (Muttafaq alaih).


Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai waktu hari Syak itu. Mayoritas ulama dari kalangan ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa hari Syak adalah hari ke-30 dari bulan Sya'ban jika tersebar isu di masyarakat bahwa hilal telah terlihat tapi hal itu tidak terbukti, atau ada orang yang bersaksi telah melihatnya namun kesaksiannya tertolak karena kefasikannya dan sejenisnya. Jika tidak tersebar isu di masyarakat mengenai terlihatnya hilal, maka hari itu tidak dianggap sebagai hari Syak meskipun langit tertutup awan. Hal ini berdasarkan hadis Ammar bin Yasir r.a. di atas yang menyatakan, "Hari ketika masyarakat ragu apakah sudah masuk Bulan Ramadan atau belum (hari Syak)", tanpa melihat adanya mendung atau tidak.

Adapun ulama Malikiyah, maka mereka menjadikan standar keraguan (syak) pada ada tidaknya mendung. Sehingga, jika langit terang maka bukan hari Syak, karena jika tidak terlihat hilal maka dipastikan hari itu masih bulan Sya'ban. Para ulama Malikiyah menjadikan sabda Rasulullah saw., "Jika hilal itu tertutup awan dari pandangan kalian maka sempurnakanlah jumlah tiga puluh hari untuk bulan sebelumnya", sebagai tafsir dari hari Syak itu. Namun Ibnu Abdis Salam, salah seorang ulama Malikiyah juga, tidak setuju dengan penafsiran itu. Menurutnya, sabda Rasulullah saw. tersebut –yang maksudnya adalah: "Sempurnakanlah jumlah tiga puluh hari untuk bulan sebelumnya"— menunjukkan bahwa esok pagi dari hari yang tertutup awan dipastikan termasuk bulan Sya'ban.

Para ulama Hambali sependapat dengan jumhur ulama. Hanya saja, dalam pendapat yang kuat, mereka justru berpendapat bahwa terdapatnya awan menafikan hari itu sebagai hari Syak, karena dalam kondisi tersebut, hari itu dianggap sebagai Ramadan. Menurut mereka, hadis yang menyatakan, "Jika kalian melihat hilal [bulan Ramadhan] maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawal) maka berhentilah berpuasa. Jika hilal tertutup awan dari pandangan kalian faqdurû lah," adalah untuk menjelaskan perbedaan antara hukum puasa pada hari yang terang dan puasa pada hari yang tertutup mendung. Sehingga, jika melihat hilal merupakan syarat sah puasa pada hari terang, maka dalam keadaan yang sebaliknya (hari mendung), melihat hilal bukanlah syarat sah puasa. Menurut ulama Hambali, maksud dari sabda Rasulullah saw., "faqdurû lah" adalah persempitlah jumlah bulan itu dan perkirakanlah kemunculan hilal di balik awan. Hal ini guna menyesuaikan dengan pendapat perawi hadis, Abdullah bin Umar, dalam masalah ini.

Terdapatnya beberapa hadis shahih dan tegas yang menafsirkan, "faqdurû lah " dengan menyempurnakan tiga puluh hari untuk bulan Sya'ban, memperkuat pendapat jumhur ulama. Hal itu sebagai pengamalan konsep keharusan mengartikan makna mutlak dengan makna yang terperinci (hamlul muthlaq 'alal muqayyad). Di samping itu, yang lebih tepat menafsirkan Sunnah adalah Sunnah itu sendiri. Karena itulah, banyak para ulama muhaqqiqin dari mazhab Hambali dan Maliki yang sependapat dengan mazhab jumhur ulama. Imam Nawawi, dalam al-Majmû', berkata, "Yang tepat adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan pendapat selain itu adalah tidak benar dan tertolak dengan hadis-hadis yang telah disebutkan."

Sebagian ulama telah menulis kitab mengenai masalah ini, diantaranya adalah Mufti Mekah Syaikh Ibrahim bin Husein bin Biri al-Hanafi (1099 H) yang menulis kitab Izâlat adh-Dhank fî al-Murâd min Yawm asy-Syakk.

Kedua : Hukum berpuasa pada hari Syak. Ada dua keadaan dalam masalah ini:

1. Melakukan puasa dengan niat berpuasa Ramadan karena sikap berhati-hati. Menurut jumhur ulama inilah yang dilarang. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tindakan itu adalah haram dan puasanya tidak sah, sebagaimana pendapat kebanyakan ulama Syafi'iyah. Dan ada pula yang hanya menghukuminya sebagai perbuatan makruh, seperti para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali. Kemudian, menurut Laits bin Sa'ad dan para ulama Hanafiyah, jika ternyata hari itu sudah masuk Ramadan, maka puasanya sah. Tapi, menurut para ulama mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, puasa tersebut tidak sah.
Menurut ulama Hambali, hukum ini berlaku jika hari sebelumnya tidak tertutup mendung. Adapun jika tertutup mendung, maka dalam pendapat yang kuat, mereka justru mewajibkan berpuasa Ramadan pada hari itu dan bukan menjadikannya sebagai hari Syak. Hal ini guna mengikuti pendapat perawi hadis, Abdullah bin Umar r.a., sebagaimana disinggung di atas. Sedangkan dalam riwayat lainnya dari Imam Ahmad, disebutkan bahwa dia sependapat dengan jumhur. Riwayat kedua ini banyak diambil oleh para ulama muhaqqiqin, disebabkan terdapat banyak riwayat shahih yang secara tegas menjelaskan masalah itu. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqîh at-Tahqîq, berkata, "Yang ditunjukkan oleh hadis-hadis dalam masalah ini –dan inilah yang sesuai dengan kaidah-kaidah— bahwa bulan apa saja jika tertutup awan, maka jumlah harinya disempurnakan menjadi tiga puluh, baik bulan Sya'ban, Ramadan, ataupun yang lain." Di atas juga telah disebutkan perkataan Imam Nawawi yang serupa.

2. Melakukan puasa bukan dengan niat puasa Ramadan. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang boleh berpuasa pada hari itu jika bertepatan dengan hari yang di dalamnya dia terbiasa melakukan puasa sunnah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Abu Hurairah r.a.. Menurut jumhur, masuk dalam kebolehan ini puasa nazar dan puasa untuk mengqadha puasa yang tertinggal. Adapun niat berpuasa secara mutlak (tanpa sebab apapun), maka menurut para ulama Syafi'iyah hukumnya adalah haram, kecuali jika ia telah berpuasa secara terus menerus sejak pertengahan kedua bulan Sya'ban. Namun, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa puasa itu juga boleh dilakukan.


Beberapa kitab dalam tema ini yang ditulis para ulama, seperti an-Nahyu 'an Shaum Yaumisy-Syakk karya al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi asy-Syafi'i (463 H) dan Shiyâm Yaumisy-Syakk karya al-Hafizh Abu Qasim Abdurrahman bin Mandah al-Hanbali (470 H) yang di dalamnya beliau mempunyai pendapat yang bertentangan dengan pendapat umum dalam mazhab Hambali. Juga kitab Dar`udh-Dhaim wal-Laum fî Shaum Yaumil-Ghaim karya al-Hafizh Abu Faraj Ibn al-Jauzi al-Hanbali (597 H) dan Tahqîqur-Rujhân bi Shaum Yaumisy-Syakk min Ramadhân karya al-'Allamah Mar'i bin Yusuf al-Karmi al-Hanbali (1033).

Ketiga : Hikmah larangan berpuasa pada hari Syak.

Dalam kitab Fathul-Bârî, al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan perbedaan pandangan para ulama mengenai hikmah larangan berpuasa pada hari Syak. Beliau berkata, "Hikmah larangan ini adalah untuk memberikan kekuatan pada tubuh dengan tidak berpuasa, sehingga dapat memulai puasa Ramadan dengan kuat dan semangat. Tapi, hikmah ini perlu ditinjau kembali, karena hadis tentang puasa hari Syak di atas menunjukkan bahwa seseorang boleh berpuasa pada hari syak itu jika ia telah berpuasa tiga atau empat hari sebelumnya. Ada pula yang yang mengatakan bahwa hikmah dari larangan berpuasa ini adalah kekhawatiran tercampurnya antara ibadah sunnah dengan ibadah wajib. Tapi, hikmah ini juga perlu ditinjau kembali, karena puasa pada hari Syak ini dibolehkan bagi seseorang yang terbiasa berpuasa pada hari yang bertepatan dengan hari Syak itu sebagaimana disebutkan dalam hadis. Ada juga yang menyatakan bahwa hukum wajibnya puasa Ramadan dikaitkan dengan melihat hilal, sehingga barang siapa yang mendahului kewajiban itu dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya maka ia telah berusaha menantang hukum ini. Dan hikmah terakhir inilah yang menjadi pegangan."

Hikmah yang dikuatkan oleh al-Hafizh ini akan semakin nampak kebenarannya jika kita memahami metode Islam dalam melihat awal hilal (rukyah). Karena, penguasalah yang berhak memutuskan benar tidaknya kesaksian melihat hilal tersebut (rukyah) –jika rukyah itu tidak bertentangan dengan perhitungan ilmu Falak--. Jika penguasa memutuskan bahwa besok belum masuk bulan baru, maka keputusannya itu menghilangkan perselisihan dalam masalah yang bersifat zhanni (tidak pasti) baik secara lahir maupun batin. Seorang muslim, dalam bingkai keilmuan apapun, tidak pernah dibebani untuk mengetahui hakikat yang sebenarnya dari sesuatu yang bersifat zhanni. Namun, dalam masalah ini sesuatu yang masih bersifat dugaan (belum pasti) diposisikan sebagai sesuatu yang pasti. Dan berpegang pada sesuatu yang kemungkinannya lebih besar adalah sebuah kewajiban dalam beragama. Inilah yang mengajarkan kepada kaum muslimin kekuatan dan keteguhan dalam berpegang pada agama mereka serta bersikap serius dalam ibadah mereka. Hal itu juga membuat mereka lebih berhati-hati agar tidak menjadi korban isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang terlihatnya hilal dalam satu negara yang dapat menyebabkan kekacauan.

Apabila klaim melihat hilal yang tidak terbukti dengan benar dan keengganan mengikuti kemungkinan terbesar yang telah diputuskan oleh penguasa adalah perbuatan yang menentang Rasulullah saw., maka bagaimana dengan orang yang menyalahi kelompok terbesar (jamaah) umat ini, keluar dari garis ketaatan dan menanam benih perpecahan dengan menyerukan untuk mengikuti rukyat yang tidak dapat dibenarkan secara perhitungan ilmu Falak yang bersifat pasti (qath'i), sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar Islam di zaman ini? Mereka telah menyimpang dari jalan yang benar tanpa argumen dan bukti yang kuat baik dari nash-nash agama maupun dari dalil rasio. Dengan perbuatan itu, mereka telah terperosok dalam dua hal yang dilarang, yaitu memecah-belah umat dan mengikuti rukyat yang tidak benar yang kesalahannya dapat dibuktikan secara pasti. Belum lagi hal itu merupakan sikap tidak serius dan penentangan terhadap Nabi saw..

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=1101&LangID=5
FB Comments
0 Blogger Comments

0 comments:

Posting Komentar

Home