Jual Beli Secara Kredit (Cicilan)

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan pemintaan fatwa No. 2563 tahun 2005, yang berisi:

Seseorang membeli barang dari sebuah toko, lalu dia menjualnya kembali secara kredit kepada orang yang membutuhkannya. Lebih jelasnya, ada seorang calon pembeli (orang pertama) mendatangi seseorang (orang kedua) dan memintanya agar membelikan untuknya barang tertentu dari sebuah toko. Lalu mereka pergi bersama-sama ke toko tersebut lalu orang kedua membelikan barang itu untuk orang pertama. Setelah itu, orang pertama membayar harga barang tersebut kepada orang kedua dengan cara mencicil, tapi dengan harga yang lebih besar dari harga pembelian secara kontan (cash). Perlu kami sampaikan bahwa orang kedua tersebut tidak memiliki tempat berjualan atau toko, bahkan dia juga tidak memiliki barang dagangan. Pertanyaannya, apa hukum transaksi tersebut?

Jawaban (Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah)

    Berdasarkan ketetapan syariat Islam, dibolehkan melakukan transaksi jual beli dengan pembayaran kontan (cash) ataupun ditangguhkan sampai tempo tertentu. Adanya penambahan harga sebagai kompensasi (imbalan) atas penangguhan pelunasan adalah dibolehkan dalam syariah, sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, karena hal itu dipandang sebagai bentuk akad murabahah. Akad murabahah merupakan salah satu akad yang dibolehkan dalam syariah, yaitu dibolehkan mengambil keuntungan sebagai imbalan dari penangguhan pembayaran. Tempo penangguhan tersebut meskipun hakikatnya bukanlah benda riil, hanya saja dalam akad murabahah, harga barang dapat ditambah karenanya. Namun, tempo penangguhan itu haruslah jelas, guna tercapainya unsur suka rela antara kedua belah pihak dalam transaksi. Alasan lainnya adalah tidak terdapat dalil yang melarang model transaksi tersebut, di samping juga adanya kebutuhan masyarakat terhadap jenis transaksi ini, baik bagi pihak pembeli maupun pihak penjual. 

    Berdasarkan penjelasan di atas dan permasalahan yang ditanyakan, orang kedua hanyalah berposisi sebagai mediator yang dibolehkan membeli dan memiliki barang yang ditransaksikan tersebut, baik benar-benar memilikinya (haqiqi) maupun membelinya untuk dijual kembali (hukmi). Kemudian, orang pertama membeli barang tersebut darinya secara kredit (cicilan) dengan harga yang lebih tinggi, sebagai imbalan dari tempo penangguhan pembayaran. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam syariah.

    Adapun kondisi orang kedua yang tidak memiliki tempat atau toko khusus, atau bahkan tidak memiliki barang dagangan, tidaklah berpengaruh terhadap kebolehan transaksi ini. Karena maksud nas-nas syarak yang melarang seseorang menjual sesuatu yang tidak dia miliki, atau yang melarang menjual suatu barang sebelum barang itu dimilikinya secara penuh, atau setelah berpindahnya kepemilikan, adalah agar ada jaminan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada barang dagangan dan guna menjauhi terjadinya perselisihan. Dalam transaksi yang ditanyakan pun tidak terjadi perselisihan antara ketiga pihak tersebut dan tidak ada kesimpangsiuran mengenai penjamin barang jika terjadi kerusakan atas barang dalam salah satu tahap proses transaksi.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
 ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=279&LangID=5
FB Comments
0 Blogger Comments

0 comments:

Posting Komentar

Home