Melakukan Perjalanan untuk Menziarahi Kuburan Para Wali, Bernazar untuk Mereka dan Mengadakan Acara Maulid Mereka

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan permohonan fatwa No. 2446 tahun 2005 yang berisi:
  1. Apa hukum melakukan perjalanan jauh hanya untuk menziarahi makam seorang wali di wilayah lain?
  2. Sebagian peziarah ada yang bernazar untuk menyembelih hewan bagi para wali itu, apakah perbuatan ini dibolehkan?
  3. Apa hukum mengadakan maulid untuk para wali dan menghias kuburan mereka dengan berbagai jenis hiasan? 
  4. Saya mempunyai seorang ayah yang telah lanjut usia yang melakukan hal-hal tersebut, saya khawatir dia terjerumus dalam syirik khafiy (syirik yang tidak nampak). Apakah saya boleh melarangnya untuk berziarah ke makam para wali atau acara maulid mereka itu?
Jawaban (Dewan Fatwa)

    Pertama: ziarah kubur adalah disyariatkan oleh Islam berdasarkan kesepakatan para ulama. Bagi kaum laki-laki, ziarah kubur adalah sunah sebagaimana kesepakatan para ulama. Begitu pula bagi kaum wanita menurut ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat hal itu adalah makruh, karena jiwa para wanita pada umumnya adalah lemah dan tidak dapat bersabar. Dalil anjuran melakukan ziarah kubur adalah sabda Rasulullah saw.,

إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ
"Aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka sekarang kunjungilah karena hal itu dapat mengingatkan kepada akhirat." (HR. Muslim).

    Hukum makruhnya berziarah ke kuburan bagi wanita, menurut jumhur ulama dikecualikan dengan ziarah ke makam Nabi saw.. Menurut mereka, berziarah ke makam Nabi saw. dan para nabi yang lain adalah juga disunahkan bagi kaum wanita berdasarkan keumuman anjuran berziarah ke makam Nabi saw..

    Jika berziarah kubur adalah disunahkan maka melakukan perjalanan guna melakukannya adalah disunahkan juga. Perjalanan merupakan suatu tindakan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dilihat dari sisi ini, maka perjalanan bukanlah sebuah ibadah atau suatu perbuatan yang dimaksudkan secara khusus untuk melakukan suatu ibadah. Seseorang yang berpendapat bahwa melakukan suatu perjalanan guna berziarah kubur atau berziarah ke kubur Nabi saw. adalah tidak diboleh, berarti telah mengatakan bahwa ziarah kubur secara umum –termasuk berziarah ke makam Nabi saw.-- adalah perbuatan yang hanya boleh dilakukan oleh para penduduk suatu wilayah yang di dalamnya terdapat kuburan tersebut. Sehingga, hanya penduduk Madinah sajalah yang boleh melakukan ziarah kubur ke makam Nabi saw., sedangkan penduduk daerah lain yang melakukan perjalanan guna berziarah ke makam beliau adalah berdosa. Pendapat seperti ini jauh dari kebenaran, bahkan itu adalah kekeliruan dalam berfikir.

    Para ulama Ushul Fikih telah sepakat bahwa wasilah (sarana) untuk sebuah tujuan akan mengambil hukum tujuan itu juga. Jika melakukan haji adalah wajib, maka melakukan perjalanan untuk haji adalah wajib juga. Sehingga, jika berziarah kubur ke makam Nabi saw., para wali, keluarga dan kaum muslimin secara umum adalah sunah, maka hal itu mengharuskan melakukan perjalanan untuk menziarahi mereka adalah sunah juga. Jika tidak, maka bagaimana mungkin suatu perbuatan adalah sunah sedangkan sesuatu yang dapat merealisasikan itu adalah haram?

    Para ulama berpendapat bahwa melakukan ziarah kubur, terutama kuburan para nabi dan wali, adalah boleh sesuai dengan keumuman dalil yang menjelaskan tentang berziarah kubur.

    Rasulullah saw. memang pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta ulama lainnya,

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَـاجِدَ: مَسْجِدِي هَذَا، وَالمَسْجِدِ الْحَرَامِ، والمسْجِدِ الأَقْصَى
"Perjalanan tidak boleh dilakukan kecuali ke tiga masjid saja, yaitu masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjil Aqsa. "

    Namun, hadis ini diartikan sebagai larangan yang ditujukan pada masjid saja, sehingga artinya adalah tidak boleh melakukan perjalanan ke masjid-masjid kecuali ketiga masjid ini. Kebolehan ini didasarkan pada kebolehan melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu dan berdagang.

    Para ulama telah bersepakat atas pemahaman seperti ini. Syaikh Sulaiman bin Manshur yang dikenal dengan julukan al-Jamal berkata, "Maksudnya adalah melakukan perjalanan untuk melakukan salat, sehingga tidak menafikan kebolehan melakukan perjalanan untuk tujuan lain." Ia juga berkata, "Imam Nawawi berkata, "Maksudnya adalah tidak ada keutamaan dalam melakukan perjalanan ke suatu masjid, kecuali ke tiga masjid itu." Nawawi menukil pemahaman ini dari jumhur ulama.

     Al-'Iraqi berkata, "Di antara penafsiran terbaik yang lain adalah bahwa maksud hadis tersebut adalah khusus melakukan perjalanan ke masjid. Sehingga, tidak boleh melakukan perjalanan dengan niat berziarah ke masjid kecuali ketiga masjid ini saja. Adapun melakukan perjalanan dengan niat selain itu, seperti untuk menuntut ilmu, bersilaturahmi kepada para ulama orang-orang saleh serta para teman, berniaga, melakukan rekreasi dan lain sebagainya, maka tidak masuk dalam larangan ini. Hal itu sesuai dengan sebuah riwayat yang secara tegas menjelaskan hal itu. Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hasan dari Abi Said al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,

لاَ يَنْبَغِي لِلْمُصَلِّي أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يَبْتَغِي فِيْهِ الصَّلاَةَ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، والْمَسْجِدِ الأَقْصَى، وَمَسْجِدِي هَذَا
"Seseorang tidak selayaknya melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melakukan salat di dalamnya, kecuali Masjidil Haram, Masjidil Aqsa dan masjidku ini."

    Dalam riwayat lain menggunakan kalimat,

لا يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَـدَّ رِحَالُهَا
"Tidak selayaknya binatang-binatang tunggangan digunakan untuk melakukan perjalanan.", dan seterusnya.

    Barmawi dalam Futûhât al-Wahhâj bi Tawdhîh Syarh Minhaj ath-Thullâb, atau lebih dikenal dengan Hasyiyat al-Jamal, menukil dari as-Subki bahwa dia berkata, "Tidak ada di dunia ini suatu tempat yang mempunyai keutamaan sehingga dilakukan perlajalanan khusus kepadanya guna mendapatkan keutamaan itu kecuali ketiga tempat tersebut." Ia melanjutkan, "Yang saya maksud dengan keutamaan ini adalah keutamaan yang diakui oleh syarak dan ditetapkan suatu hukum syarak yang berkaitan dengannya. Adapun negeri-negeri lain maka tidak boleh melakukan perjalanan kepadanya kecuali untuk tujuan berziarah kubur, menuntut ilmu atau perbuatan sunah dan mubah lainnya. Sebagian orang ada yang salah memahami hal itu, sehingga ia mengira bahwa melakukan perjalanan ke selain ketiga tempat itu, seperti berziarah ke makam Sidi Ahmad al-Badawi dan sejenisnya, adalah masuk dalam larangan hadis tersebut. Ini adalah pemahaman yang salah. Karena, pengecualian (al-istitsnâ`) harus sejenis dengan sesuatu yang dikecualikan (al-mustatsnâ minhu). Dengan demikian, maksud hadis tersebut adalah: tidak boleh melakukan perjalanan ke suatu masjid atau ke suatu tempat karena keutamaan tempat itu, kecuali ke tiga masjid yang disebutkan. Sedangkan melakukan perjalanan untuk ziarah kubur dan menuntut ilmu, bukanlah perjalanan ke suatu tempat, tapi melakukan perjalanan ke orang yang ada di tempat itu. Hendaklah penjelasan ini dipahami."

    Dengan demikian, melakukan perjalanan untuk berziarah ke makam para nabi, orang-orang saleh dan kerabat adalah perbuatan yang dianjurkan. Karena, hal itu adalah satu-satunya cara untuk melakukan perbuatan yang disunnahkan yaitu berziarah kubur. Pendapat yang menyatakan bahwa hal itu adalah haram merupakan pendapat yang salah dan tidak perlu dijadikan pegangan.

    Kedua: maksud menyembelih dan bernazar untuk para wali dan orang-orang saleh adalah memberikan pahala ibadah kurban itu kepada mereka. Baik niat itu disebutkan secara jelas, seperti jika orang yang berkurban itu mengatakan, "Kurban ini dari si Fulan," atau, "Saya menghadiahkan pahalanya untuk si Fulan," ataupun tidak, seperti jika ia berkata, "Saya menyembelih atau bernazar untuk si Fulan." Dengan demikian, nazar dan sembelihan itu tidak keluar dari hukum sembelihan kepada Allah. Hal ini sebagaimana perkataan orang yang bersedekah, "Ini adalah sedekah kepada Allah dan untuk si Fulan." Maksud kata "kepada" adalah mempersembahkan sedekah itu kepada Allah, sedangkan kata "untuk" bermaksud memberikan pahala sedekah itu untuk si Fulan, baik ia adalah orang yang masih hidup maupun telah meninggal. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Sa'ad bin Ubadah r.a.,

عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ قَـالَ: يَـا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمَّ سَعْدٍ مَاتَتْ، فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: « الْمَاءُ »، فَحَفَرَ بِئْرًا، وَقَالَ: هَذِهِ لأُمِّ سَعْدٍ .
Dari Sa'ad bin Ubadah r.a., dia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Ummu Sa'ad (ibunya Sa'ad) meninggal dunia, maka sedekah apakah yang paling afdal?" Beliau menjawab, "Air." Maka, Sa'ad lalu membuat sebuah sumur dan berkata, "Ini adalah untuk Ummu Sa'ad." (HR. Abu Dawud, Nasa`i dan Ahmad).

    Dengan demikian, dipandang dari makna yang dimaksudkan oleh masyarakat ini, maka nazar dan sembelihan yang diberikan pada para wali dan orang-orang saleh adalah dibenarkan secara syarak dan bukan termasuk perbuatan syirik sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Perbuatan ini tidak pula bertentangan dengan tauhid dan keikhlasan kepada Allah SWT, karena tidak ada maksud dari pelaku ibadah itu selain memberikan pahalanya kepada orang yang telah meninggal dunia. Sehingga, itu adalah nazar dan sembelihan kepada Allah dan merupakan bentuk ibadah kepadanya yang dijadikan sebagai sedekah dari wali yang diziarahi dan menghadiahkan pahalanya kepadanya.

    Ada yang perlu diperhatikan dalam masalah ini, yaitu bahwa nazar mempunyai dua macam: nazar mutlaq (nazar umum) dan nazar mu'allaq (nazar tergantung). Nazar mu'allaq adalah makruh, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Nabi saw. melarang melakukan nazar. Beliau bersabda,

إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
"Nazar itu tidak dapat menolak sesuatu apapun, tapi ia dikeluarkan dari orang pelit." (Muttafaq alaih).

    Sehingga, seorang muslim lebih diutamakan untuk beribadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan baik tanpa meggantungkan hal itu dengan tercapainya sesuatu atau tidak.

    Nazar dalam ketaatan juga mempunyai dua jenis, yaitu nazar untuk melakukan ibadah-ibadah maqshûdah dan nazar untuk melakukan ibadah-ibadah ghairu maqshûdah. Nadzar ibadah-ibadah maqshûdah, yaitu ibadah-ibadah yang merupakan cabang (turunan) dari ibadah-ibadah fardu, seperti salat, puasa, haji dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah-ibadah yang kedua adalah jenis ibadah yang tidak ada dalil tentang kewajibannya, tapi ia merupakan amalan-amalan dan perilaku yang dianggap baik dan dianjurkan oleh syariat, seperti membangun masjid, mengurus jenazah, menjawab doa orang yang bersin dan lain-lain. Menurut jumhur ulama –selain ulama Hanafiyah--, nazar dalam ibadah jenis terakhir ini wajib dipenuhi.

    Nazar untuk mayat ini tidak bertentangan dengan perkataan para ulama bahwa nazar tidak sah untuk orang yang telah meninggal. Karena ketidakabsahan itu kembali pada tidak memungkinkannya menyerahkan barang yang dinazarkan kepada orang yang telah meninggal tersebut. Sehingga, hal itu tidak berlaku dalam nazar bagi mayat ini, karena ia tidak dimaksudkan sama sekali dari orang-orang yang melakukan nazar tersebut.


    Ketiga: mengadakan berbagai acara guna memperingati kelahiran para wali adalah hal yang dianjurkan dalam agama. Karena, acara tersebut dapat mengingatkan kita untuk menauladani tingkah laku mereka dan mengikuti manhaj mereka. Diperbolehkan pula menentukan hari tertentu guna mengadakan acara tersebut, baik hari tersebut bertepatan dengan hari kelahiran mereka ataupun tidak. Seluruh perbuatan di atas masuk dalam makna firman Allah SWT,

"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah." (Ibrâhîm: 5).

    Adapun terjadinya beberapa perbuatan maksiat dalam acara seperti ini, seperti berbaurnya laki-laki dan perempuan (ikhtilâth), maka hal itu wajib diingkari dan dijauhi. Para pelakunya pun harus diberi peringatan atas pelanggaran mereka terhadap tujuan utama dari diadakannya acara yang agung tersebut.

    Keempat: secara syarak anda tidak berhak untuk melarang ayah anda untuk melakukan perbuatan baik dengan dilandaskan pada praduga tersebut. Karena mencintai orang-orang saleh adalah salah satu tanda penerimaan dan keridhaan Allah kepada seseorang. Nabi saw. bersabda,

إِنِّي لَسْتُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوا بَعْدِي، وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا أَنْ تَنَافَسُوا فِيهَا وَتَقْتَتِلُوا، فَتَهْلِكُوا كَمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
"Aku tidak khawatir kalian akan melakukan syirik setelahku. Tapi, justru aku khawatir kalian akan saling berlomba-lomba dan saling membunuh demi dunia, maka kalian akan hancur sebagaimana hancurnya kaum-kaum sebelum kalian." (Muttafaq alaih dari Uqbah bin 'Amir).

    Jika anda benar-benar melihat ayah anda melakukan kemungkaran maka anda harus bersikap lunak dalam menasehatinya tanpa menggunakan cara-cara yang melecehkan atau ejekan.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=450&LangID=5
FB Comments
0 Blogger Comments

0 comments:

Posting Komentar

Home