Puasa Enam Hari di Bulan Syawwal


Imam Muslim Rohimahullôh meriwayatkan hadits dari Abû Ayyub al-Anshôriy Rhodhiyallôhu ‘anhu, bahwa Rosululloh Shollallôhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ»
“Barangsiapa berpuasa Romadhon, kemudian mengikutinya dengan enam hari pada bulan Syawal, maka itu seperti puasa selama satu tahun.” (HR. Muslim)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengamalkan puasa enam hari pada bulan Syawwal. Mayoritas ulama, seperti Ibnu ‘Abbas, Thôwus, asy-Sya’biy, Maymûn bin Mahrôn, Ibnu al-Mubârok, asy-Syafi’iy, Ahmad, dan Ishâq Rohmatullôh ‘alayhim ajma’în berpendapat bahwa puasa tersebut hukumnya sunnah. Sedangkan sebagian ulama yang lain seperti Mâlik dan Abû Hanîfah Rohimahumallôh mengingkari puasa tersebut dan menyatakannya sebagai puasa makruh.

Berdasarkan pendapat mayoritas ulama tersebut, selayaknya kita memanfaatkan kesempatan baik di bulan Syawwal ini dengan melaksanakan puasa sunnah sebagai bentuk ketaatan kita kepada Alloh Subhânahu wa ta’âlâ. Cara yang paling baik adalah memulainya pada tanggal dua bulan Syawwal dan dilaksanakan secara terus menerus sampai hari ketujuh pada bulan tersebut. Namun demikian, melaksanakannya pada hari-hari yang lain pada bulan Syawwal walaupun secara terpisah-pisah merupakan suatu kebaikan dan tetap memperoleh pokok pahala sunnah.
Ibnu Rojab al-Hambaliy Rohimahullôh menguraikan faidah yang besar di balik kesunnahan puasa Syawwal, yaitu:

1. Menyempurnakan pahala puasa Romadhon, sehingga akan memperoleh pahala puasa selama satu tahun. Alloh Subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

{مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا} [الأنعام: 160]

Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. (QS. Al-An’âm [6] : 160)
Dengan melaksanakan puasa Romadhon selama sebulan penuh, maka seorang hamba memperoleh pahala puasa selama sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari pada bulan Syawwal mendapatkan pahala puasa selama dua bulan, sehingga jumlahnya genap menjadi satu tahun penuh.

2. Puasa Syawwal, sebagaimana puasa Sya’ban, berkedudukan seperti sholat sunnah rowâtib (qobliyyah dan ba’diyyah) terhadap sholat fardhu. Kekurangan yang terdapat dalam sholat fardhu disempurnakan dengan pelaksanaan sholat sunnah, demikian pula dalam puasa Romadhon, kekurangan yang terjadi selama pelaksanaan puasa fardhu tersebut disempurnakan dengan puasa sunnah sya’ban dan syawwal.

3. Melaksanakan puasa sunnah setelah puasa Romadhon adalah salah satu tanda diterimanya puasa Romadhon. Sesungguhnya apabila Alloh Subhânahu wa ta’âlâ menerima amal kebaikan seorang hamba, maka Ia akan memberikan tawfîq kepada hamba tersebut untuk melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lain. Sebagian ulama mengatakan, “Pahala kebaikan adalah kebaikan setelahnya, barang siapa berbuat kebaikan kemudian mengikutinya dengan kebaikan yang lain, maka itu menjadi pertanda bahwa kebaikannya yang pertama diterima oleh Alloh Subhânahu wa ta’âlâ. Sebaliknya, perbuatan baik yang diikuti oleh perbuatan buruk, menjadi tanda bahwa kebaikan itu ditolak dan tidak diterima oleh-Nya Subhânahu wa ta’âlâ.

Ditinjau dari segi bahasa, Romadhon mengandung makna panas, sedangkan Syawwal berarti peningkatan. Pada saat berpuasa seorang muslim merasakan rasa panas dan lapar sebagai salah satu upaya yang paling efektif dalam melatih dan mengendalikan hawa nafsu. Makanan dan minuman yang halal pun tidak kita konsumsi karena ketaatan kepada Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, maka saat memasuki Syawwal sebagai bulan peningkatan, selayaknya kita mampu menahan diri dari mengonsumsi makanan dan minuman yang haram. Demikian pula ibadah-ibadah yang lain pada bulan suci tersebut, tadarus al-Qur’an melahirkan kecintaan dan dan ketaatan kepada Kitab Suci, sholat tarowih melatih pribadi muslim untuk memelihara sholat fardhu dan menyempurnakannya dengan sholat sunnah, dan zakat fitrah melahirkan rasa kasih sayang kepada kaum lemah. Itulah sebagian makna, bahwa Romadhon adalah bulan latihan, sedangkan Syawwal adalah bulan peningkatan.

4. Puasa Syawwal mengandung nilai syukur atas nikmat dan karunia Alloh Subhânahu wa ta’âlâ. Orang yang berpuasa Romadhon akan mendapat ampunan dari Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, pahala setiap kebaikan yang dilaksanakan pada bulan suci tersebut akan diterima pada hari ‘idul fithri, sehingga hari fithri tersebut disebut yawm al-jawâ`iz, yaitu hari pemberian penghargaan dan balasan atas setiap kebaikan. Ampunan dan penghargaan atas kebaikan merupakan nikmat yang besar yang harus disyukuri oleh setiap hamba, diantaranya dengan melaksanakan puasa syawwal. Nabi Muhammad Shollallôhu ‘alayhi wa sallam selalu melaksanakan ibadah malam (qiyâm al-layl) hingga bengkak telapak kakinya, ketika Beliau ditanya, “Mengapa Engkau melakukan hal itu, bukankah Alloh telah mengempuni dosa-Mu, baik dosa terdahulu maupun dosa yang akan datang?” Beliau Shollallôhu ‘alayhi wa sallam menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur.”

Puasa Romadhon adalah bentuk syukur atas nikmat dan anugerah dari Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, ibadah tersebut membawa seseorang untuk mendapatkan ampunan dari Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, yang merupakan nikmat yang harus disyukuri dengan cara melaksanakan kebaikan yang lainnya. Dan kemampuan melaksanakan kebaikan yang lain tersebut merupakan pertolongan (tawfîq) dari Alloh yang harus disyukuri. Maka setiap kenikmatan dunia maupun agama, mengharuskan seorang hamba bersyukur kepada Alloh Subhânahu wa ta’âlâ, kesyukuran tersebut merupakan nikmat pertolongan dari Alloh Subhânahu wa ta’âlâ yang harus disyukuri lagi dengan kebaikan-kebaikan berikutnya. Dengan demikian, maka hakikat syukur adalah pengakuan atas lemahnya diri dalam bersyukur kepada Alloh Subhânahu wa ta’âlâ.

Wallôhu a’lamu bish showâb
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Referensi:
1. Shohîh Muslim
2. Syarh an-Nawawiy ‘alâ Muslim
3. Lathô`if al-Ma’ârif
4. al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh
FB Comments
0 Blogger Comments
Home