Jawharoh at-Tawhîd : Muqoddimah

Oleh: Hasan Basri Hambali

1.      الحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى صِلاَتِهِ ... ثُمَّ سَلاَمُ اللَّهِ مَعْ صَلاَتِهِ
2.      عَلَى نَبِيِّ جَاءَ بِالتوْحِيدِ ... وَقَدْ عَرَا الدِّينُ مِنَ التَّوْحِيدِ
3.      فَأَرْشَدَ الخَلْقَ لِدِينِ الحَقِّ ... بِسَيْفِهِ وَهَدْيِهِ لِلْحَقِّ
4.      مُحَمَّدِ العَاقِبْ لِرُسْلِ رَبِّهِ ... وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَحِزْبِهِ

Segala puji bagi Alloh atas segala nikmat-nikmat-Nya.
Sholawat dan salam dari Alloh semoga senantiasa tercurah kepada Nabi, yang datang membawa tauhid pada saat agama kosong dari tauhid.
Lalu ia memberi petunjuk kepada makhluk terhadap agama yang benar, dengan pedang dan petunjuk pada kebenaran.
Yaitu Nabi Muhammad Shollallôhu 'alaiyhi wa sallam, penutup seluruh utusan (rosul) Tuhan.
(semoga shalawat dan salam tercurah) kepada keluarga, sahabat dan golongannya.

Hamdalah

Puji (الحمد) adalah sanjungan yang wajib karena keagungan dzat Alloh dan sifat-sifat-Nya. Mu'allif Rohimahullôh mengawali nazhm-nya dengan hamdalah setelah basmalah, karena menggabungkan keduanya lebih utama daripada hanya salah satunya. Apabila tidak menyebut keduanya, maka mengawali dengan basmalah lebih utama daripada hamdalah, sebagaimana kita jumpai dalam kitab Jurumiyah yang hanya diawali dengan lafazh basmalah.

Pujian terbagi empat:

1. Pujian dari al-Qodîm, yaitu Alloh Subhânahu wa ta'âlâ kepada diri-Nya, seperti firman Alloh Subhânahu wa ta'âlâ:

فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ (المرسلات : ٢٣)
lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan. (QS. Al-Mursalât [77] : 23)

2. Pujian dari al-Qodîm kepada al-hadîts (hamba-Nya), seperti firman Alloh Subhânahu wa ta'âlâ:

وَوَهَبْنَا لِدَاوُدَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (ص : ٣٠)
Dan Kami karuniakan kepada Dâwud, Sulaymân, Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shôd [38] : 30)

3. Pujian dari al-hadîts kepada al-hadîts, seperti sabda Baginda Nabi Muhammad Shollallôhu 'alayhi wa sallam:

نعم العبد الصحيب، لو لم يخف الله لم يعصه

4. Pujian dari al-hadîts kepada al-Qodîm Subhânahu wa ta'âlâ, seperti ucapan kita:

يا نعم المولى ويا نعم النصير
"wahai Alloh sebaik-baiknya Tuan, wahai sebaik-bainya penolong"

Sholawat dan Salam

Pendapat yang shohîh menyebutkan bahwa Baginda Nabi Muhammad Shollallôhu 'alayhi wa sallam, sebagaimana nabi-nabi yang lain, mendapat manfaat dari sholawat yang disanjungkan oleh umatnya, tetapi tidak boleh mengungkapkan hal itu kecuali di tempat-tempat pengajian, karena hal itu termasuk sû` al-adâb (perangai yang buruk).

Pendapat lain mengatakan bahwa manfaat dari sholawat itu kembali kepada orang yang bersholawat, karena Baginda Nabi telah dipenuhi dengan kesempurnaan. Namun pendapat ini tidak sepenuhnya benar, sebab tidak ada suatu kesempurnaan melainkan pada sisi Alloh Ta'âlâ ada yang lebih sempurna. Tetapi tidak selayaknya seseorang bersholawat dengan maksud seperti itu, tetapi sholawat yang disanjungkan dijadikan sebagai wasîlah (penghubung) antara dirinya dengan Alloh melalui keagungan Baginda Nabi Shollallôhu 'alayhi wa sallam dalam meraih tujuannya.

Nabi dan Rosul

Rosul adalah manusia pilihan yang diberi wahyu oleh Alloh Subhânahu wa ta'âlâ dan diperintahkan untuk menyampaikan (tablîgh) kepada ummatnya. Sedangkan nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu tersebut, namun seorang nabi pun tetap harus menyampaikan pangkat kenabiannya kepada ummat, supaya mendapat penghormatan atas derajat luhur yang telah dianugerahkan kepadanya.

Terdapat nisbah (korelasi) 'umûm khushûsh muthlaq antara nabi dan rosul, yaitu setiap rosul adalah nabi, dan ada nabi yang bukan berstatus sebagai rosul. Baginda Muhammad Shollallôhu 'alayhi wa sallam, misalnya, dari segi kerosulan beliau mempunyai wahyu untuk disampaikan kepada ummat, Beliau juga mempunyai wahyu yang khusus bagi dirinya dari sisi kenabian, karena Baginda Muhammad adalah nabi dan rosul. Sedangkan seorang nabi yang bukan rosul, seperti Nabi Syîts 'Alayhis salâm hanya memiliki wahyu untuk dirinya sendiri.

Para ulama berbeda pendapat menganai jumlah Rosul yang diutus oleh Alloh Subhânahu wa ta'âlâ, ada yang menyebutkan 113, 114 dan 115. Demikian pula jumlah nabi, ada yang mengatakan 124000, ada juga yang berpendapat 224000. Dalam hal ini, lebih baik kita tidak mempertajam perbedaan pendapat tersebut, karena khawatir ada nabi atau rosul yang tidak masuk ke dalam jumlah yang kita sebutkan, atau ada yang bukan nabi dan rosul yang masuk ke dalam bilangan tersebut. Alloh Subhânahu wa ta'âlâ berfirman:

مِنْهُمْ مَنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ (غافر: 78)
di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. (QS. Ghôfir/al-Mu’min [40] : 78)

Definisi Tauhid

Lafazh "tauhid" merujuk kepada tiga makna yang berbeda, yaitu tauhid menurut bahasa, istilah (ilmu tauhid), dan syara' (ketauhidan). Menurut bahasa, tauhid adalah pengetahuan bahwa "sesuatu" itu adalah satu.

Definisi tauhid menurut istilah adalah:

علم يقتدر به على إثبات العقائد الدينية مكتسب من أدلتها اليقينة
Disiplin ilmu yang memberi kemampuan untuk menetapkan 'aqîdah-'aqîdah agama yang diambil dari dalil-dalil keyakinan.

Sedangkan menurut syara', tauhid mengandung makna:

إفراد المعبود بالعبادة مع اعتقاد وحدته والتصديق بها ذاتاً وصفاتٍ وأفعالا
Mengesakan Alloh Ta'âlâ dengan cara beribadah kepada-Nya disertai keyakinan dan membenarkan keesaannya dalam dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Dasar-dasar Ilmu Tauhid

إن مبادي كل فن عشرة ... الحد والموضوع ثم الثمرة
وفضله ونسبة والواضع ... والاسم الاستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض اكتفى ... ومن درى الجميع حاز الشرفا
Sesungguhnya dasar-dasar setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh,
yaitu (1) definisi, (2) objek, kemudian (3) manfaat.
(4) Keutamaan, (5) nisbah, (6) peletak dasar (al-wâdhi'),
(7) nama, (8) sumber pengambilan dan (9) hukum syara'.
(10) Masalah-masalah, satu dengan yang lainnya saling mencukupi,
Barangsiapa mengetahui keseluruhannya, maka ia telah memperoleh kesempurnaan.

1. Definisi: sebagaimana di sebutkan di atas, tauhid adalah disiplin ilmu yang memberi kemampuan untuk menetapkan 'aqîdah-'aqîdah agama yang diambil dari dalil-dalil keyakinan.

2. Objek: ilmu tauhid mengkaji dzat Alloh (sifat wajib, mustahil dan jâ`iz bagi-Nya), rosul (sifat wajib, mustahil dan jâ`iz bagi para rosul) dan 'aqîdah sam'iyyat, yaitu 'aqidah selain keyakinan tentang Alloh dan para rosul-Nya yang diperoleh melalui dalil-dalil naqliy (al-Qur'an dan hadits).

3. Manfaat: dengan mempelajari ilmu tauhid seorang Muslim akan mengenal (ma'rifah) Alloh Subhânahu wa ta’âlâ dengan didasarkan pada dalil-dalil qoth'iy dan memperoleh kebahagiaan yang kekal.

4. Keutamaan: tauhid adalah ilmu yang paling mulia, karena kajiannya bekaitan dengan Alloh Subhânahu wa ta’âlâ dan para Rosul-Nya.

5. Nisbah (hubungan): tauhid adalah asal (pokok) dari seluruh ilmu agama, sehingga disebut ushûl ad-dîn, sedangkan ilmu-ilmu yang lainnya adalah cabang (far') dari ilmu tauhid.

6. Peletak dasar (wâdhi'): peletak dasar ilmu tauhid adalah Abul Hasan al-Asy'âriy dan Abû Manshûr al-Mâturîdiy beserta para pengikutnya Rohmatullôh ‘alayhim ajma’în . Mereka adalah para ulama yang menulis berbagai kitab dalam bidang tauhid dan menolak berbagai syubhat yang datang dari golongan mu'tazilah. Sedangkan tauhid dalam pengertian keyakinan, telah ada sejak zaman Nabi Âdam 'Alayhis salâm.

7. Nama: ilmu ini dikenal dengan ilmu tauhid atau ilmu kalâm. Disebut ilmu tauhid, karena pembahasan utamanya adalah tenang wahdaniyyah (mengesakan Alloh Subhânahu wa ta’âlâ). Dinamakan ilmu kalâm, karena diantara kebiasaan ulama mutaqoddimîn, selalu memulai sebuah pembahasan dengan kalimat al-kalâm fi kadza (pembicaraan tentang "suatu masalah").

8. Sumber pengambilan: ilmu tauhid bersumber dari dalil-dalil 'aqliy (akal) dan dalil-dali naqliy (al-Qur'an, as-Sunnah, dan Ijma').

9. Hukum: mempelajari ilmu tauhid hukumnya wajib 'ayniy bagi setiap muslim yang mukallaf (berakal dan sudah baligh).

10. Masalah-masalah: yang dibahas dalam ilmu tauhid adalah qodhiyyah-qodhiyyah seputar wâjib, mustahîl dan jâ`iz.

Petunjuk pada Agama yang Benar

Baginda Muhammad Shollallôhu ‘alayhi wa sallam memberikan petunjuk kepada seganp makhluk yang terkena taklîf, yaitu jin dan manusia, untuk mengikuti jalan agama yang benar di sisi Alloh, yaitu agama Islam. Cara yang dilakukan oleh Nabi Shollallôhu ‘alayhi wa sallam adalah dengan memberikan al-hadyu (petunjuk) dan dengan pedang (berjihad di jalan Alloh Subhânahu wa ta’âlâ) sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Nya Subhânahu wa ta’âlâ.

Agama, secara bahasa (etimologi) memiliki beberapa makna, diantaranya ketaatan, ibadah, balasan dan perhitungan. Sedangkan menurut istilah (terminologi), agama dimaknai sebagai:

ما شرعه الله تعالى على لسان نبيه من الأحكام
Hukum-hukum yang disyari'atkan oleh Alloh Yang Maha Suci melalui lisan nabi-Nya.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan agama adalah agama Islam, sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhoi oleh Alloh Subhânahu wa ta’âlâ. Alloh Subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

}إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ} [آل عمران: 19]
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Alloh hanyalah Islam. (Âli 'Imrôn [3] : 19)

Imam an-Nawawiy Rohimahullôh mengatakan, bahwa ciri eksistensi agama pada diri seseorang ada empat, yaitu: benarnya tujuan (shidq al-qoshd), yaitu melaksanakan ibadah dengan niat dan penuh keikhlasan; memenuhi janji (wafâ` al-'ahd), yaitu melaksanakan perintah yang diwajibkan oleh Alloh Subhânahu wa ta’âlâ; meninggalkan larangan (tark al-manhiy), yaitu menjauhi perbuatan-perbuatan haram; dan sahnya keyakinan (shihhah al-'aqd), yaitu mengikuti 'aqidah ahlussunnah wal jama'ah.

Wallôhu a'lamu bish showâb
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Referensi:
1. Jawharoh at-Tawhîd
2. Tuhfah al-Murîd
3. Taqrîb al-Ba'îd
FB Comments
0 Blogger Comments

0 comments:

Posting Komentar

Home